“Rindu adalah seni dari sebuah hubungan, baik hubungan pertemanan, persahabatan hingga hubungan percintaan. Semakin lama rasa rindu yang dipupuk maka semakin erat pulalah hubungan manusia satu dengan manusia lainnya itu. Seperti layang-layang, sebuah hubungan juga membutuhkan prosesi tarik dan ulur agar ia semakin tinggi membumbung di angkasa.”
Lima tahun yang lalu aku mendengar kata-kata ini dari seseorang. Kata-katanya tidak persis sama seperti yang ada di tulisan tersebut, namun intinya sama.
Waktu itu aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya. Mengapa manusia membutuhkan rindu? Mengapa butuh menjauh jika kita bisa mengusahakan untuk selalu bersama dan beriringan?
Untuk apa kita terkadang perlu berjalan lebih cepat agar berdiri di depannya dan memperlambat langkah agar bisa melihatnya dari kejauhan? Bukankah berjalan bersisian dan menggamit tangannya lebih menyenangkan?
Setiap manusia memiliki batas yang diciptakan sejak mereka dilahirkan ke dunia. Batasan itu bermacam-macam bentuknya. Ada yang bentuknya seperti tembok, kokoh absolut atau seperti aliran air, jernih dan mempersilakan orang lain untuk turut hanyut bersama menikmatinya.
Namun, tidak semua orang mampu benar-benar memahami setiap batasan manusia lainnya ketika mereka memilih untuk turut memasukinya.
Bagi mereka yang merasa terusik, pilihan yang paling baik untuk tetap bisa meleburkan seluruh jiwanya dan meresapi setiap jengkal batas yang dibuatnya adalah dengan menyediakan ruang untuk dirinya sendiri.
Ruang sendiri tidak mesti selalu menyendiri dan sendirian. Ruang sendiri bisa berarti perwujudan dari sebuah dunia yang hanya bisa dipahami oleh sebagian kecil manusia. Sebuah dunia yang bisa dicintai dengan cara yang kita mau, mereka mencintai kita dengan cara yang tepat dan tanpa sibuk saling mempertanyakan.
Kita selalu membutuhkan ruang-ruang untuk sendiri seperti itu yang silih berganti diisi oleh banyak hal. Terkadang oleh sahabat kita sendiri, komunitas kita sendiri ataupun hal semacamnya. Apapun itu ruang sendiri adalah sebuah alter ego bagi dirinya, dunia di mana kita bisa berdialog dengan hati baik melalui diri sendiri maupun orang lain.
Faktor kedekatan bukanlah menjadi parameter utama untuk selalu bisa memasuki dunia seseorang. Bahkan untuk ukuran sekelompok manusia yang memiliki kedekatan secara biologis pun tidak serta merta selalu mengerti dan memahami ruang sendiri yang dimiliki satu dengan yang lainnya. Tidak perlu memaksakan diri, sebab kita tidak harus selalu menyenangi apa yang disenangi orang lain, tidak harus memiliki apa yang dimiliki orang lain.
Maka, biarkanlah mereka untuk sementara waktu bercumbu dengan dunianya sendiri dan juga beri diri kita waktu untuk menjelajahi ruang sendiri. Sebab, sedekat apapun kita tidak akan pernah memahami apa yang benar-benar dibutuhkan manusia lainnya. Kita hanya perlu memberinya jarak, memberinya ruang untuk sejenak menenggelamkan dirinya dalam sebuah dunia yang hanya dipahami olehnya.
Di antara jarak yang dibuat oleh pengertian, dunia kita akan beririsan dengan sendirinya. Segala rindu yang bertemu akan menciptakan satu, ragu yang tersapu oleh waktu.
0 Response to "Ruang Sendiri"
Post a Comment