Tiap memoar bagai baru berselang, gundah gulana sampai canda tawa | kusangka ingatan itu sudah hilang, tapi ia mengakar di relung jiwa
Punggung yang tadinya tegak kini terbaring lemah | mata yang tadi berbinar semangat terlihat sangat lelah
berkali-kali aku dipapah punggung itu sambil berteriak bahagia | tak terhitung sudah pandangan matamu tanda engkau bangga
masa tua menggerogoti masa mudamu, namun tidak kebijaksanaanmu | engkau jelaskan bahwa dunia semu, dan akhirat itu barang tentu
sementara nafas engkau hela, dadamu kembang kempis dengan payah | aku berusaha untuk rela, entah kenapa bisa begitu susah
dalam hidupku, kuakui tidak sepanjang hidup aku mencintaimu | bahkan mungkin, hidupku habis lebih banyak membencimu
kukira selama ini kau hanya pikirkan dirimu sendiri | saat ini baru aku mengerti kau hanya mengajar berdiri
kuduga selama ini kau orang yang paling tak peduli | teryata kau bukan lelaki yang pintar lisankan hati
segala mahal yang kau batasi, dan dunia yang tak kau beli | ternyata sebuah cara ajari, bahwa hidup itu untuk berbagi
mengapa sekarang aku baru mengerti? | mengapa sekarang baru aku pahami?
bahwa banyak kekuranganmu yang aku saksikan | namun lebih banyak lagi kelebihan yang tak kau perlihatkan?
bahwa kesalahanmu banyak aku sebutkan | namun kesalahanku engkau terima dengan senyuman?
bahwa tak peduli seberapa jauh aku melangkah pergi | pelukan yang sama selalu menanti bila aku kembali?
bahwa setiap suapan nasi dan tegukan air | berapa payah tulang terbanting dan berapa banyak peluh mengalir?
aku kehilangan ketenanganku, menyempurnakan penyesalanku | sadari semua salahku, takutkan sisa kesempatanku
bersamamu selamanya adalah sebuah khayalan | namun perpisahan ini begitu menyakitkan
apakah penyesalan itu karunia atau kutukan | mengapa ia selalu datang dibelakang kemudian?
Tuhan kumohon, beri aku waktu untuk melantunkan sepenggal ayat-Mu | kuperdengarkan padanya laksana ia perbuat di masa kecilku
perkenankan firman-Mu meresap tuk kuatkan ringkih badannya | sebagai sebuah persembahan terakhir dari anaknya
jadikan tilawahku ini sebagai pendamping syahadatnya | agar Engkau ampunkan dosanya dan tambahkan kebaikannya
izinkan dekapannya aku abadikan walaupun hanya genggaman | berusaha pertahankan ingatan agar tak kehilangan
Tuhan kumohon, bisakah beri waktu untuk sekali lagi shalat | untuk berada di belakangnya walau hanya dua rakaat
sekali lagi mengamini apa yang ia doakan pada-Mu | sekali lagi menegadahkan tangan dengarkan pintanya pada-Mu
mengambil tangan lalu menciumnya sekali lagi | kuperdengarkan maaf sebelum berpulang kembali
mengapa aku begitu bodoh, menyimpan lisan yang harusnya terkatakan | untuk banyak berterimakasih, atas semua pelajaran
ayah, beri aku 20 menit saja untuk mengingat wajahmu | jangan menangis, bagaimana aku mengenang bila berlinang airmatamu?
ayah, jangan, jangan, jangan kau coba berucap sayang padaku | kau tahu itu beratkan dirimu dan diriku
ayah, bila ini terakhir kalinya di dunia kita berjumpa | mudah-mudahan ada pertemuan lagi di surga
namun ayah, mohon katakan padaku apa yang harus kulakukan? biasakah engkau bersamaku walau sehari lagi?

0 Response to "Untuk Ayah "
Post a Comment