Rintik hujan turun beriring, samarkan isak airmata yang berlinang | seolah jatuh tak tersaring, karena luap ribuan kenangan
Tiap memoar bagai baru berselang, gundah gulana sampai canda tawa |
kusangka ingatan itu sudah hilang, tapi ia mengakar di relung jiwa
Punggung yang tadinya tegak kini terbaring lemah | mata yang tadi berbinar semangat terlihat sangat lelah
berkali-kali aku dipapah punggung itu sambil berteriak bahagia | tak terhitung sudah pandangan matamu tanda engkau bangga
masa tua menggerogoti masa mudamu, namun tidak kebijaksanaanmu |
engkau jelaskan bahwa dunia semu, dan akhirat itu barang tentu
sementara nafas engkau hela, dadamu kembang kempis dengan payah | aku berusaha untuk rela, entah kenapa bisa begitu susah
dalam hidupku, kuakui tidak sepanjang hidup aku mencintaimu | bahkan mungkin, hidupku habis lebih banyak membencimu
kukira selama ini kau hanya pikirkan dirimu sendiri | saat ini baru aku mengerti kau hanya mengajar berdiri
kuduga selama ini kau orang yang paling tak peduli | teryata kau bukan lelaki yang pintar lisankan hati
segala mahal yang kau batasi, dan dunia yang tak kau beli | ternyata sebuah cara ajari, bahwa hidup itu untuk berbagi
mengapa sekarang aku baru mengerti? | mengapa sekarang baru aku pahami?
bahwa banyak kekuranganmu yang aku saksikan | namun lebih banyak lagi kelebihan yang tak kau perlihatkan?
bahwa kesalahanmu banyak aku sebutkan | namun kesalahanku engkau terima dengan senyuman?
bahwa tak peduli seberapa jauh aku melangkah pergi | pelukan yang sama selalu menanti bila aku kembali?
bahwa setiap suapan nasi dan tegukan air | berapa payah tulang terbanting dan berapa banyak peluh mengalir?
aku kehilangan ketenanganku, menyempurnakan penyesalanku | sadari semua salahku, takutkan sisa kesempatanku
bersamamu selamanya adalah sebuah khayalan | namun perpisahan ini begitu menyakitkan
apakah penyesalan itu karunia atau kutukan | mengapa ia selalu datang dibelakang kemudian?
Tuhan kumohon, beri aku waktu untuk melantunkan sepenggal ayat-Mu |
kuperdengarkan padanya laksana ia perbuat di masa kecilku
perkenankan firman-Mu meresap tuk kuatkan ringkih badannya | sebagai sebuah persembahan terakhir dari anaknya
jadikan tilawahku ini sebagai pendamping syahadatnya | agar Engkau ampunkan dosanya dan tambahkan kebaikannya
izinkan dekapannya aku abadikan walaupun hanya genggaman | berusaha pertahankan ingatan agar tak kehilangan
Tuhan kumohon, bisakah beri waktu untuk sekali lagi shalat | untuk berada di belakangnya walau hanya dua rakaat
sekali lagi mengamini apa yang ia doakan pada-Mu | sekali lagi menegadahkan tangan dengarkan pintanya pada-Mu
mengambil tangan lalu menciumnya sekali lagi | kuperdengarkan maaf sebelum berpulang kembali
mengapa aku begitu bodoh, menyimpan lisan yang harusnya terkatakan | untuk banyak berterimakasih, atas semua pelajaran
ayah, beri aku 20 menit saja untuk mengingat wajahmu | jangan menangis, bagaimana aku mengenang bila berlinang airmatamu?
ayah, jangan, jangan, jangan kau coba berucap sayang padaku | kau tahu itu beratkan dirimu dan diriku
ayah, bila ini terakhir kalinya di dunia kita berjumpa | mudah-mudahan ada pertemuan lagi di surga
namun ayah, mohon katakan padaku apa yang harus kulakukan? biasakah engkau bersamaku walau sehari lagi?
Asal Bersyukur dan Bersabar
Saat matahari bersinar, maka Allah tunjukkan keindahan warna-warna ciptaan-Nya kepada kita. Tapi saat matahari terbenam, ada keindahan lai...
0 Response to "Untuk Ayah "
Post a Comment