Asal Bersyukur dan Bersabar

Saat matahari bersinar, maka Allah tunjukkan keindahan warna-warna ciptaan-Nya kepada kita. Tapi saat matahari terbenam, ada keindahan lai...

Untuk Ayah

Rintik hujan turun beriring, samarkan isak airmata yang berlinang | seolah jatuh tak tersaring, karena luap ribuan kenangan

Tiap memoar bagai baru berselang, gundah gulana sampai canda tawa | kusangka ingatan itu sudah hilang, tapi ia mengakar di relung jiwa

Punggung yang tadinya tegak kini terbaring lemah | mata yang tadi berbinar semangat terlihat sangat lelah

berkali-kali aku dipapah punggung itu sambil berteriak bahagia | tak terhitung sudah pandangan matamu tanda engkau bangga

masa tua menggerogoti masa mudamu, namun tidak kebijaksanaanmu | engkau jelaskan bahwa dunia semu, dan akhirat itu barang tentu

sementara nafas engkau hela, dadamu kembang kempis dengan payah | aku berusaha untuk rela, entah kenapa bisa begitu susah

dalam hidupku, kuakui tidak sepanjang hidup aku mencintaimu | bahkan mungkin, hidupku habis lebih banyak membencimu

kukira selama ini kau hanya pikirkan dirimu sendiri | saat ini baru aku mengerti kau hanya mengajar berdiri

kuduga selama ini kau orang yang paling tak peduli | teryata kau bukan lelaki yang pintar lisankan hati

segala mahal yang kau batasi, dan dunia yang tak kau beli | ternyata sebuah cara ajari, bahwa hidup itu untuk berbagi

mengapa sekarang aku baru mengerti? | mengapa sekarang baru aku pahami?

bahwa banyak kekuranganmu yang aku saksikan | namun lebih banyak lagi kelebihan yang tak kau perlihatkan?

bahwa kesalahanmu banyak aku sebutkan | namun kesalahanku engkau terima dengan senyuman?

bahwa tak peduli seberapa jauh aku melangkah pergi | pelukan yang sama selalu menanti bila aku kembali?

bahwa setiap suapan nasi dan tegukan air | berapa payah tulang terbanting dan berapa banyak peluh mengalir?

aku kehilangan ketenanganku, menyempurnakan penyesalanku | sadari semua salahku, takutkan sisa kesempatanku

bersamamu selamanya adalah sebuah khayalan | namun perpisahan ini begitu menyakitkan

apakah penyesalan itu karunia atau kutukan | mengapa ia selalu datang dibelakang kemudian?

Tuhan kumohon, beri aku waktu untuk melantunkan sepenggal ayat-Mu | kuperdengarkan padanya laksana ia perbuat di masa kecilku

perkenankan firman-Mu meresap tuk kuatkan ringkih badannya | sebagai sebuah persembahan terakhir dari anaknya

jadikan tilawahku ini sebagai pendamping syahadatnya | agar Engkau ampunkan dosanya dan tambahkan kebaikannya

  izinkan dekapannya aku abadikan walaupun hanya genggaman | berusaha pertahankan ingatan agar tak kehilangan

Tuhan kumohon, bisakah beri waktu untuk sekali lagi shalat | untuk berada di belakangnya walau hanya dua rakaat

sekali lagi mengamini apa yang ia doakan pada-Mu | sekali lagi menegadahkan tangan dengarkan pintanya pada-Mu

mengambil tangan lalu menciumnya sekali lagi | kuperdengarkan maaf sebelum berpulang kembali

mengapa aku begitu bodoh, menyimpan lisan yang harusnya terkatakan | untuk banyak berterimakasih, atas semua pelajaran

ayah, beri aku 20 menit saja untuk mengingat wajahmu | jangan menangis, bagaimana aku mengenang bila berlinang airmatamu?

ayah, jangan, jangan, jangan kau coba berucap sayang padaku | kau tahu itu beratkan dirimu dan diriku

ayah, bila ini terakhir kalinya di dunia kita berjumpa | mudah-mudahan ada pertemuan lagi di surga

namun ayah, mohon katakan padaku apa yang harus kulakukan? biasakah engkau bersamaku walau sehari lagi?

0 Response to "Untuk Ayah "

Post a Comment