Pemerintah akhirnya menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium sebesar Rp500/liter. Kebijakan itu menyusul turunnya harga minyak mentah di level 60 dolar AS/barrel setelah beberapa lama sempat berada di atas 100 dolar AS/barrel. Tapi mengapa harga solar tidak bergeming?
Keputusan pemerintah menu-runkan harga bahan bakar minyak jenis premium dari Rp6.000/liter menjadi Rp5.500/liter patut disyukuri di tengah menurunnya daya beli masya-rakat. Sayangnya, harapan masyarakat untuk lekas menikmati harga premium baru tidak bisa langsung terpenuhi. Pasalnya, pemerintah baru member-lakukan 1 Desember mendatang.
Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM menjadi catatan sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Padahal 1 Juni lalu, pemerintah baru saja menaikkan harga BBM 28%, sehingga harga premium menjadi Rp6.000/liter.
Selama pemerintahan SBY, terhitung sudah dua kali harga BBM naik. Setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM, alasan utamanya adalah menyelamatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari lonjakan harga minyak.
Karena itu setelah harga minyak mentah kembali turun di bawah patokan APBN sebesar 90 dolar AS/barrel, berbagai kalangan mendesak pemerintah segera menurunkan harga BBM. Setelah rapat kabinet antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dan Meneg BUMN, Sofyan Djalil, pemerintah mengumumkan penurunan harga BBM jenis premium.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, berharap penurunan ini bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan menggairahkan dunia usaha, serta menahan siklus akibat krisis ekonomi global terhadap perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah akan memantau secara berkala.
Namun banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM kali ini tidak sepenuh hati. Selain itu masih menimbulkan tanda tanya, mengapa penurunan harga premium hanya Rp500/li-ter? Padahal harusnya penurunan bisa lebih besar dari angka itu.
Kalkulasinya, dalam APBN Perubahan (APBN-P) pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah 105 dolar AS/barel, sehingga harga premium menjadi Rp6.000/liter. Dengan situasi harga minyak mentah di pasar dunia turun hingga di bawah 60 dolar AS/barel, seharusnya harga premiun menjadi lebih murah lagi dari angka yang ditetapkan pemerintah. Justru penurunan harga premiun yang lebih nampak nuansa politik, apalagi menjelang Pemilu 2009.
Pengamat perminyakan, Kurtubi meng-anggap, penurunan harga BBM jenis premium sebesar Rp500/liter sangat tidak memadai dan tidak fair. Lebih mencerminkan sikap ragu-ragu pemerintah di tengah merebaknya krisis ekonomi global. “Penu-runan premium sebesar Rp500/liter yang diberikan pemerintah kurang tepat, dan dampaknya tidak bisa langsung dirasakan sektor riil,” tegasnya.
Mengapa solar tidak turun?
Sangat wajar jika banyak yang menilai kebijakan pemerintah ini terkesan ragu-ragu dan setengah hati. Pasalnya, pemerintah hanya menurunkan harga BBM jenis pre-mium, sedangkan solar tetap dipatok pada harga Rp5.500/liter.
Kurtubi mengatakan, kebijakan peme-rintah yang tidak menurunkan harga solar menyebabkan ketidakseimbangan. Padahal solar merupakan bahan bakar yang paling banyak dibutuhkan masyarakat.
Kalkulasinya, dengan harga minyak mentah di level 62 dolar AS/barel dan nilai tukar sebesar Rp10.000/dolar AS, maka biaya pokok produksi solar menjadi Rp5.000/liter. Karena itu, harga solar bisa diturunkan Rp500/liter dari harga saat ini Rp 5.500/liter.
Desakan agar pemerintah juga menurun-kan harga solar datang dari Pengamat Ekonomi, Sri Adiningsih. Ia menganggap tidak adil jika pemerintah hanya menurunkan harga premium.
Ketimbang bahan bakar tersebut menu-rut Sri, BBM solar lebih memiliki efek berganda bagi masyarakat luas. Apalagi selama ini konsumsi solar di dalam negeri cukup tinggi, terutama untuk sektor industri dan angkutan umum. “Tidak elok kalau dalam situasi seperti ini pemerintah mengambil keuntungan. Harusnya pemerintah juga menurunkan harga solar,” pintanya.
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) juga mendesak pemerintah agar segera menu-runkan harga solar, sehingga sektor koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pertum-buhannya makin pesat. Apalagi sebagian besar koperasi dan UKM menjalankan usahanya dengan bahan bakar solar, terutama nelayan.
Selama ini menurut Sekretaris Jenderal Dekopin, Bambang W. Suharto, sektor koperasi dan UKM, terutama nelayan yang merasakan dampak paling berat dengan naiknya harga BBM termasuk solar beberapa waktu lalu. “Jadi kalau memang solar bisa ikut diturunkan harganya maka hampir semua sektor KUKM bisa diselamatkan dari kelumpuhan,” katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis seperti dikutip Detik.com menyatakan, harga solar mestinya bisa mengikuti harga Premium turun sekitar Rp500-530/liter menjadi sekitar Rp4.970-5.000/liter.
Sebab dari perhitungan Harry, dalam APBN-P 2008 ada penghematan anggaran Rp10 triliun karena pemerintah menetapkan asumsi harga minyak 115 dolar AS/barel. Ternyata hingga September harga minyak mentah hanya berada di 105 dolar AS/barel, sehingga ada penghematan 10 dolar AS/barel.
Menurut Harry, penurunan harga solar sebenarnya bisa diterapkan saat ini juga. Dilihat dari kondisi anggaran kemungkinan penurunan solar bisa diterapkan pada November ini sebesar Rp530/liter. “Per-soalannya pemerintah memang terlihat politis, selain itu pemerintah juga berpikir apakah tren penurunan harga minyak masih terjadi,” katanya.
Penurunan harga solar, menurut Harry, tidak akan mengganggu kondisi APBN-P 2008. Karena pemerintah masih mempunyai dana cadangan sebesar Rp95 triliun yang memang diprioritaskan untuk menjaga kemungkinan harga minyak terus naik. “Tapi ternyata harga minyak turun sampai level 60 dolar AS per barel. Jadi dana cadangan Rp95 triliun masih aman. Apalagi pada Mei lalu, pemerintah menaikkan harga BBM, sehingga harga solar masih bisa diturunkan,” katanya.
Tiga sebab
Menanggapi gencarnya desakan penu-runan harga solar, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan harga solar belum bisa turun. Pertama, meski harga minyak sudah turun ke 54,55 dolar AS/barel, namun harga itu masih di atas harga solar bersubsidi. Jadi dengan harga solar Rp5.500/liter pemerintah masih memberikan subsidi. Kedua, dana subsidi saat ini pagunya sudah habis. Ketiga, pertimbangan windfall profit yang sebaiknya diambil untuk budget lain.
Harapan masyarakat mendapatkan harga solar lebih murah makin kandas. Melemahnya nilai tukar rupiah tehadap dolar akibat krisis global menjadi alasan baru pemerintah untuk menunda penurunan harga solar.
Purnomo mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus Rp11.000/dolar AS membuat penurunan harga solar tertahan. Padahal, turunnya harga minyak mentah di pasar dunia belakangan ini sudah cukup mendukung untuk penurunan harga Solar.
Selain patokan harga minyak dan nilai tukar rupiah, kata Purnomo, pemerintah juga harus memperhitungkan keseimbangan APBN agar tidak defisit terlalu banyak. Hitungan Purnomo, jika harga solar benar-benar turun, maka pemerintah harus menanggung tambahan subsidi lagi.
Seandainya harga solar juga diturunkan Rp500/liter pada 1 Desember 2008 diperlukan tambahan subsidi Rp500 miliar untuk sebulan terakhir pada tahun ini. Terlihat sekali pemerintah sudah seperti pedagang yang tidak mau rugi. Masihkah bisa dipercaya? [] Ijul'28
Selama pemerintahan SBY, terhitung sudah dua kali harga BBM naik. Setiap kali pemerintah menaikkan harga BBM, alasan utamanya adalah menyelamatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dari lonjakan harga minyak.
Karena itu setelah harga minyak mentah kembali turun di bawah patokan APBN sebesar 90 dolar AS/barrel, berbagai kalangan mendesak pemerintah segera menurunkan harga BBM. Setelah rapat kabinet antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dan Meneg BUMN, Sofyan Djalil, pemerintah mengumumkan penurunan harga BBM jenis premium.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, berharap penurunan ini bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan menggairahkan dunia usaha, serta menahan siklus akibat krisis ekonomi global terhadap perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah akan memantau secara berkala.
Namun banyak kalangan menilai kebijakan pemerintah menurunkan harga BBM kali ini tidak sepenuh hati. Selain itu masih menimbulkan tanda tanya, mengapa penurunan harga premium hanya Rp500/li-ter? Padahal harusnya penurunan bisa lebih besar dari angka itu.
Kalkulasinya, dalam APBN Perubahan (APBN-P) pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah 105 dolar AS/barel, sehingga harga premium menjadi Rp6.000/liter. Dengan situasi harga minyak mentah di pasar dunia turun hingga di bawah 60 dolar AS/barel, seharusnya harga premiun menjadi lebih murah lagi dari angka yang ditetapkan pemerintah. Justru penurunan harga premiun yang lebih nampak nuansa politik, apalagi menjelang Pemilu 2009.
Pengamat perminyakan, Kurtubi meng-anggap, penurunan harga BBM jenis premium sebesar Rp500/liter sangat tidak memadai dan tidak fair. Lebih mencerminkan sikap ragu-ragu pemerintah di tengah merebaknya krisis ekonomi global. “Penu-runan premium sebesar Rp500/liter yang diberikan pemerintah kurang tepat, dan dampaknya tidak bisa langsung dirasakan sektor riil,” tegasnya.
Mengapa solar tidak turun?
Sangat wajar jika banyak yang menilai kebijakan pemerintah ini terkesan ragu-ragu dan setengah hati. Pasalnya, pemerintah hanya menurunkan harga BBM jenis pre-mium, sedangkan solar tetap dipatok pada harga Rp5.500/liter.
Kurtubi mengatakan, kebijakan peme-rintah yang tidak menurunkan harga solar menyebabkan ketidakseimbangan. Padahal solar merupakan bahan bakar yang paling banyak dibutuhkan masyarakat.
Kalkulasinya, dengan harga minyak mentah di level 62 dolar AS/barel dan nilai tukar sebesar Rp10.000/dolar AS, maka biaya pokok produksi solar menjadi Rp5.000/liter. Karena itu, harga solar bisa diturunkan Rp500/liter dari harga saat ini Rp 5.500/liter.
Desakan agar pemerintah juga menurun-kan harga solar datang dari Pengamat Ekonomi, Sri Adiningsih. Ia menganggap tidak adil jika pemerintah hanya menurunkan harga premium.
Ketimbang bahan bakar tersebut menu-rut Sri, BBM solar lebih memiliki efek berganda bagi masyarakat luas. Apalagi selama ini konsumsi solar di dalam negeri cukup tinggi, terutama untuk sektor industri dan angkutan umum. “Tidak elok kalau dalam situasi seperti ini pemerintah mengambil keuntungan. Harusnya pemerintah juga menurunkan harga solar,” pintanya.
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) juga mendesak pemerintah agar segera menu-runkan harga solar, sehingga sektor koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pertum-buhannya makin pesat. Apalagi sebagian besar koperasi dan UKM menjalankan usahanya dengan bahan bakar solar, terutama nelayan.
Selama ini menurut Sekretaris Jenderal Dekopin, Bambang W. Suharto, sektor koperasi dan UKM, terutama nelayan yang merasakan dampak paling berat dengan naiknya harga BBM termasuk solar beberapa waktu lalu. “Jadi kalau memang solar bisa ikut diturunkan harganya maka hampir semua sektor KUKM bisa diselamatkan dari kelumpuhan,” katanya.
Sementara itu Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Azis seperti dikutip Detik.com menyatakan, harga solar mestinya bisa mengikuti harga Premium turun sekitar Rp500-530/liter menjadi sekitar Rp4.970-5.000/liter.
Sebab dari perhitungan Harry, dalam APBN-P 2008 ada penghematan anggaran Rp10 triliun karena pemerintah menetapkan asumsi harga minyak 115 dolar AS/barel. Ternyata hingga September harga minyak mentah hanya berada di 105 dolar AS/barel, sehingga ada penghematan 10 dolar AS/barel.
Menurut Harry, penurunan harga solar sebenarnya bisa diterapkan saat ini juga. Dilihat dari kondisi anggaran kemungkinan penurunan solar bisa diterapkan pada November ini sebesar Rp530/liter. “Per-soalannya pemerintah memang terlihat politis, selain itu pemerintah juga berpikir apakah tren penurunan harga minyak masih terjadi,” katanya.
Penurunan harga solar, menurut Harry, tidak akan mengganggu kondisi APBN-P 2008. Karena pemerintah masih mempunyai dana cadangan sebesar Rp95 triliun yang memang diprioritaskan untuk menjaga kemungkinan harga minyak terus naik. “Tapi ternyata harga minyak turun sampai level 60 dolar AS per barel. Jadi dana cadangan Rp95 triliun masih aman. Apalagi pada Mei lalu, pemerintah menaikkan harga BBM, sehingga harga solar masih bisa diturunkan,” katanya.
Tiga sebab
Menanggapi gencarnya desakan penu-runan harga solar, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan ada tiga faktor yang menyebabkan harga solar belum bisa turun. Pertama, meski harga minyak sudah turun ke 54,55 dolar AS/barel, namun harga itu masih di atas harga solar bersubsidi. Jadi dengan harga solar Rp5.500/liter pemerintah masih memberikan subsidi. Kedua, dana subsidi saat ini pagunya sudah habis. Ketiga, pertimbangan windfall profit yang sebaiknya diambil untuk budget lain.
Harapan masyarakat mendapatkan harga solar lebih murah makin kandas. Melemahnya nilai tukar rupiah tehadap dolar akibat krisis global menjadi alasan baru pemerintah untuk menunda penurunan harga solar.
Purnomo mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah yang menembus Rp11.000/dolar AS membuat penurunan harga solar tertahan. Padahal, turunnya harga minyak mentah di pasar dunia belakangan ini sudah cukup mendukung untuk penurunan harga Solar.
Selain patokan harga minyak dan nilai tukar rupiah, kata Purnomo, pemerintah juga harus memperhitungkan keseimbangan APBN agar tidak defisit terlalu banyak. Hitungan Purnomo, jika harga solar benar-benar turun, maka pemerintah harus menanggung tambahan subsidi lagi.
Seandainya harga solar juga diturunkan Rp500/liter pada 1 Desember 2008 diperlukan tambahan subsidi Rp500 miliar untuk sebulan terakhir pada tahun ini. Terlihat sekali pemerintah sudah seperti pedagang yang tidak mau rugi. Masihkah bisa dipercaya? [] Ijul'28
0 Response to "Penurunan Harga Premium, Kebijakan Setengah Hati"
Post a Comment